Selasa, 24 November 2009

Tanggung Jawab kita terhadap ALAM






Ketika kita menonton Film STAR TREK IV: "The Voyage Home" kita sedang diberikan sebuah pengajaran berharga betapa kita sebagai pencinta Science Fiction, pencinta Star Trek, haruslah juga menjadi pencinta lingkungan hidup yaitu Bumi dan segala isinya dimana kita bergantung untuk hidup.




Di dalam sejarah peradaban manusia, terdapat tiga revolusi yang telah mengubah pola kehidupan bermasyarakat selamanya, baik dari segi produksi, distribusi, maupun konsumsi. Yang pertama adalah Revolusi Agraria pada masa prasejarah, yang kedua adalah Revolusi Industri pada abad ke-18, dan yang ketiga adalah revolusi yang berhubungan dengan pengolahan minyak bumi pada paruh abad ke-19.

Revolusi Agraria adalah berubahnya metode pencarian makanan dan pekerjaan yang dulunya pemburu dan pengumpul makanan menjadi petani dan penggarap kebun/ladang. Revolusi ini memungkinkan manusia untuk memproduksi makanan lebih dari yang ia butuhkan, sehingga terjadi surplus. Dari sana berkembanglah penimbunan, perdagangan, dan pemukiman yang lebih besar.

Revolusi Industri ditandai dengan proses otomatisasi produksi, terutama tenaga kerja manusia digantikan dengan mesin yang berakibat pada penggunaan batu bara dalam jumlah besar serta berlanjut pada pencarian sumber energi alternatif yang lebih mudah diperoleh serta lebih "ramah lingkungan", karena seperti yang kita ketahui proses penambangan batu bara sering kali memakan korban jiwa selain juga menimbulkan dampak polusi yang sangat hebat.

Penemuan cara penyulingan "minyak batu" (petroleum) menjawab kebutuhan tersebut. Minyak bumi dapat dihasilkan lebih cepat daripada batu bara dengan polusi yang relatif lebih kecil dibandingkan batu bara. Namun penggunaan minyak bumi secara luas, terutama sejak Perang Dunia II, baik pada kendaraan bermotor maupun pabrik-pabrik, telah menghasilkan polusi yang luar biasa besarnya sebagai timbal balik dari segala fasilitas yang dapat dinikmati oleh manusia saat ini.

Adalah tugas kita, para pencinta Star Trek, untuk mengelola bumi dan memanfaatkan sumber daya alamnya secara bertanggung jawab. Kita perlu memikirkan tidak hanya kepentingan sesaat saja, tetapi juga untuk berpikir ke depan, untuk anak-anak serta generasi-generasi yang akan datang supaya mereka tidak hidup di tengah-tengah dunia yang rusak akibat polutan-polutan yang telah kita tinggalkan serta sumber daya yang telah kita habiskan. Jadilah pencinta Star Trek yang mencintai lingkungan.

Kiranya artikel di bawah ini menolong Anda untuk menyadari bahwa dari awal penciptaan, Tuhan telah memanggil manusia untuk mengelola dan memelihara alam ciptaan-Nya sesuai dengan rancangan-Nya yang ajaib. Menyimpang dari rancangan-Nya akan menyebabkan malapetaka.


ETIKA LINGKUNGAN HIDUP

I. Pengantar

Akhir-akhir ini, perhatian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidupnya semakin meningkat. Hal itu sejalan dengan pengetahuan yang semakin banyak dan pengalaman yang semakin nyata bahwa lingkungan hidup atau planet bumi sedang sakit atau rusak. Sakit atau rusaknya planet bumi itu disebabkan oleh ulah manusia sendiri, yaitu dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek perusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Sebenarnya proses perusakan lingkungan sudah berjalan lama, yaitu sejak dimulainya proses industrialisasi. Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah menjadi barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran hidup manusia. Dengan adanya alat ampuh, yaitu mesin, maka alam pun dipandang dan dikelola secara mekanis. Terjadilah intensitas pengeksploitasian lingkungan menjadi semakin gencar tak terkendali.



Alam dilihat tidak lebih dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam tidak lagi dihargai sebagai organisme. Sayangnya, kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan hidup mulai muncul sejak sesudah Perang Dunia II dan mulai mengglobal tiga dekade yang lalu ketika alam terlanjur rusak berat atau sakit parah. Ketika itu manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber alam (khususnya "non-renewable resources") semakin menipis.

Pengelolaan alam secara mekanistik yang diikuti pula oleh pertumbuhan demografi yang terus melaju sehingga pada akhir dekade 1960-an ditandai dengan "ledakan penduduk dunia". Kenyataan itu mendorong digerakkannya pembangunan yang berorientasi pada "pertumbuhan ekonomi" yang justru semakin meningkatkan pengeksploitasian sumber-sumber alam. Hal ini tidak untuk kemakmuran saja, tetapi bahkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari umat manusia yang semakin banyak. Misalnya, hutan selain sebagai sumber bahan baku untuk diolah menjadi bahan produk, juga dikonversi menjadi lahan pertanian. Perusakan ini diperberat oleh polusi atau pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan pertanian, digunakan pupuk kimia, dan untuk menjaga panen dari serangan hama, digunakan pestisida secara besar-besaran sehingga produksi pertanian meningkat. Semua itu, bersama dengan industri dan transportasi yang dibangun untuk meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam dalam bentuk polusi. Akibatnya sumber alam semakin menipis, kemampuan daya dukung alam berkurang dan mengancam kehidupan manusia sendiri.

Dari keterangan di atas, menjadi nyata bahwa benturan yang menyebabkan lingkungan hidup menderita sakit atau rusak datang dari manusia dalam proses mengambil, mengolah, dan mengonsumsi sumber-sumber alam. Benturan terjadi ketika proses-proses itu melampui batas-batas kewajaran atau proposionalitas. Batas-batas kewajaran atau proposionalitas itu terlampaui ketika manusia semakin mampu dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi memanfaatkan sumber-sumber secara masal, intensif, dan cepat dan sekaligus mengotori atau mencemarinya. Tetapi yang lebih parah lagi, yaitu bahwa manusia yang merasa semakin enak semakin tidak tahu diri, sehingga ia seolah-olah menjelma menjadi tuan dan pemilik alam. Maka kesadaran untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup harus dikembalikan pada manusia, dengan mempertanyakan tentang dirinya dan kelakuannya terhadap alam.

Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai 'gambar' Sang Pencipta ("Imago Dei") dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.

1. Kesatuan Manusia dengan Alam

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan membentuk manusia itu dari debu tanah", seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara". Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut "adam". Nama itu memunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, "adamah", yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah.




Dalam bahasa Latin, manusia disebut "homo", yang juga memunyai makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah, ia harus hidup dari menggarap tanah, dan ia pasti akan kembali kepada tanah. Di sini
nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung -- sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.

2. Kepemimpinan Manusia Atas Alam

Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Sang Pencipta dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain, dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya. Jadi, manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat. Ia menjadi wakil Tuhan yang memerintah atas nama Sang Pencipta terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Tuhan. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra bagi Sang Pencipta. Karena ia menjadi wakil dan mitra Tuhan, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Sang Pencipta. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan "care-taker". Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.

Kata "mengelola" digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Sang Pencipta seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Tuhan. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola ("abudah") dan memelihara ("samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.

3. Kegagalan Manusia Memelihara Alam

Manusia selalu serakah dan ingin menjadi yang maha kuasa, dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Sang Pencipta. Tindakan melanggar amanat Tuhan membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi
mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik-materialistik). Manusia hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.

Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi" (dalam Kitab Kejadian. 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan materialistik. Dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakikatnya berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy being". Kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.

4. Hubungan Baru Manusia-Alam

Sang Pencipta yang Mahakasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus Putera-Nya yang tunggal ke dalam dunia. Logos ini yang disebut Firman penciptaan telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia) Ia telah mendamaikan Sang Pencipta dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini Sang Logos telah memulihkan hubungan Tuhan dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.

Hubungan baru manusia dengan alam bukan saja hubungan "dominio" (menguasai) tetapi juga hubungan "comunio" (persekutuan). Itu sebabnya Sang Pencipta yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam, yaitu "air, angggur, dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia dengan Sang Pencipta. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Tuhan yang baik harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Sang Pencipta harus tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan alam, sekaligus mengarahkan kita pada penyempurnaan ciptaan dalam "langit dan bumi yang baru" dalam langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.

Senin, 23 November 2009

Rasakan sensasi STAR TREK !


Click link dibawah ini agar kamu bisa merasakan kedahsyatan sensasi STAR TREK !...