Sabtu, 10 Oktober 2009

Meneladani Civil Society Amerika Serikat




Amerika Serikat: Pelopor Hak Asasi Manusia dalam Kebebasan Bicara, Berkreasi dan ber-Ekspresi.

Satu hal yang paling saya kagumi dari Amerika Serikat adalah kepeloporannya dalam hal menjamin demokrasi, Hak Asasi Manusia: kebebasan berbicara, berkreasi, ber-ekspresi dan berpendapat. Hal itu adalah pengakuan terhadap salah satu asasi dalam deklarasi Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh dunia internasional.

Topik mengenai kebebasan berbicara, berpendapat, berkreasi dan ber-ekspresi adalah salah satu hal yang paling sering diperdebatkan dalam masyarakat yang liberal. Kebebasan berbicara telah menjadi suatu issue yang yang mudah berubah ketika hal ini sangat dihargai dengan tinggi karena hanya dengan demikianlah pembatasan-pembatasan yang diterapkan kepadanya menjadi hal yang kontroversial. Satu hal yang perlu dicatat dalam diskusi apapun berkaitan dengan kebebasan berbicara adalah, hal ini tetap harus adanya suatu pembatasan dalam taraf-taraf tertentu. Setiap kelompok masyarakat yang berbeda, menerapkan pembatasan-pembatasan pada kesempatan melatih kebebasan berbicara karena pidato/ diskusi yang ada akan selalu mengambil tempat diantara konteks nilai-nilai yang saling bersaing; atau saling bertentangan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain. Dalam hal ini, adalah tepat dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada hal yang dinamakan dengan kebebasan berbicara.

Kebebasan berbicara hanyalah sebuah term yang berguna untuk memfokuskan perhatian kita kepada suatu bentuk tertentu dari ‘interaksi antar manusia’ dan frasa itu tidak berarti menyarankan bahwa hal ‘berbicara’ tidak boleh diinterfensi oleh ‘interaksi antar manusia’ itu. Sebagaimana Stanley Fish menyebutkan bahwa, “secara singkat dapat dikatakan bahwa kebebasan berbicara, bukanlah sebuah nilai/value yang independen, namun sebuah hadiah politis” (1994). Tidak ada satu masyarakat dari bangsa manapun yang ada, dimana kebebasan berbicara tidak dibatasi dalam tingkat /taraf-taraf tertentu. Sebagaimana John Stuart Mill menulis argumennya dalam ‘On Liberty’, perjuangan yang ada adalah selalu mengambil tempat diantara persaingan antara permintaan akan kebebasan dengan kekuasaan, dan kita harus mengingat sebelumnya:

Semua hal yang membuat keberadaan saat ini bernilai untuk setiap orang tergantung dari penegakan aturan dan penerapan atas tindakan-tindakan dari orang lain. Beberapa aturan mengenai kode etik misalnya, harus dipaksakan untuk diterapkan – oleh Hukum, diatas segala hal lainnya, dan juga pembatasan atas banyak hal lainnya yang memang tidak sesuai dengan pengoperasian Hukum / Undang-Undang.

Maka isu utamanya, adalah, bukan memperdebatkan mengenai domain kebebasan berbicara yang tiada batas; hal itu adalah konsep yang tidak bisa dibela. Melainkan, kita sebagai masyarakat harus memutuskan, seberapa besar nilai yang akan kita tempatkan kepada kebebasan berbicara dala hubungannya dengan nilai yang kita tempatkan dalam hal ideal penting lainnya: “berbicara, tidak memiliki suatu nilai yang timbul dari dirinya sendiri, namun selalu dihasilkan diantara lingkup batasan-batasan konsepsi yang diasumsikan mengenai kebaikan” (Stanley Fish, 1994, 104). Dalam essay Fish tersebut, kita akan melihat beberapa hal konsepsi kebaikan yang ditujukan untuk menentukan batasan-batasan yang dapat diterima dalam sebuah kebebasan berbicara.

Dalam sebuah masyarakat yang bebas, kita telah menemukan bahwa prinsip-prinsip yang merugikan memberikan alasan bagi pembatasan atas kebebasan berbicara yang mana, ketika hal itu dilakukan, akan dapat mencegah kerugian terhadap hak-hak yang ada. Hal ini berarti bahwa kebebasan berbicara harus dipandang dan dinilai apakah memiliki dampak negatif terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dianut demi kebebasan hak orang lain; atau ketertiban serta keteraturan hukum sebuah masyarakat atau negara. Dalam hal kebebasan berbicara yang sifatnya menyerang orang lain, sepanjang hal itu tidak menimbulkan kerugian atau bahaya bagi keselamatan jiwa atau hak-hak asasi orang lain untuk hidup, masih dapat diijinkan untuk berlalu tanpa hukuman. Ketika hal ini bersentuhan dengan hal yang berbau pornografi atau pidato yang menyebabkan kebencian, dapat terjadi bahwa hal itu juga akan diloloskan dari hukum. Kita masyarakat Indonesia seringkali menerapkan suatu standar ganda atas kedua hal ini. Contohnya: ketika suatu produk media menampilkan hasil fotografi mengenai perempuan, walau itu karya seni atau pornografi, masyarakat dengan mudahnya menuding dengan penuh kebencian bahwa media tersebut mempromosikan produk pornografi yang merusak moral bangsa. Namun dilain sisi, ketika ada para pengkotbah di rumah-rumah ibadah menyuarakan suara kebencian terhadap Suku Agama Ras dan Antar Golongan, dan menyebabkan potensi kebencian dan perpecahan didalam masyarakat, banyak golongan memprotes ketika pemerintah bermaksud mengawasi para pengkotbah tersebut. Mereka yang pro terhadap isi kotbah yang berisi kebencian itu berpendapat, pemerintah harus memberi kebebasan berbicara, walau isi kotbah itu menyebarkan fitnah dan kebencian golongan masyarakat lain; atau kritik-kritik tajam terhadap pemerintah.

Jika memang kita ingin konsekuen dengan prinsip bahwa kebebasan ber-ekspresi atau berpendapat selama itu tidak membahayakan hukum atau kebebasan orang lain dibiarkan oleh hukum; maka seharusnya masyarakat kita harus dewasa dan mengembangkan pola perilaku tertentu yang sesuai dengan prinsip tersebut. Sebagai contoh: ketika golongan masyarakat tertentu berkata bahwa pemerintah tidak usah mengawasi atau ikut campur terhadap kotbah-kotbah yang mengandung kebencian SARA; maka seharusnya mereka juga konsekuen sikapnya dengan hal yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi, atau hasil-hasil karya seni yang dengan entengnya dikategorikan sebagai pornografi. Masyarakat yang dewasa seharusnya mampu mengawasi dirinya sendiri. Misalnya dalam hasil karya publik yang mau dikategorikan sebagai ketelanjangan atau pornografi, bagi sebagian masyarakat mungkin merasa terserang, bagi segolongan masyarakat lain mungkin agak sedikit merasa malu melihatnya, dan mereka hanya bersikap memalingkan kepala ketika melihat hal-hal itu; atau menghindarinya sama sekali.

Hal yang sama sebenarnya berlaku pula dalam hal hasil karya yang berbau ketelanjangan, sex, intrik-intrik licik, konspirasi melakukan kejahatan, kata-kata yang kasar atau perilaku kasar dalam sinetron di televisi. Selama ini masyarakat kita permisif terhadap isi sinetron-sinetron tidak bermutu di televisi dengan mengatakan bahwa sinetron-sinetron itu hanya produk khayalan yang memanjakan masyarakat hidup disuatu kondisi di atas awan. Sinetron banyak melukiskan kehidupan diluar kenyataan, seorang muda kaya raya, hidup di rumah mewah tanpa kesulitan mencari pangan, intrik-intrik anak sekolah untuk menjahati teman sekolahnya, intrik konspirasi rumah tangga dalam mencelakai anggota rumah tangga yang lain, kata-kata makian, tamparan, tendangan dan berbagai kekerasan dalam rumah tangga lain yang secara eksplisit di ekspos dalam sinetron dibiarkan oleh masyarakat dan pemerintah. Alur cerita tak berbobot dan tidak mendidik, kata-kata kasar dan makian, perselingkuhan, konspirasi kejahatan, kekerasan dalam runah tangga dianggap adalah sekedar suatu produk yang menghibur dan mengatakan hal itu sebagai kebebasan ber-ekspresi dan berkarya.

Hal kebebasan prinsip yang sama seharusnya juga berlaku bagi aspek-aspek lain dalam karya-karya film, tari-tarian, pakaian adat, fotografi, lukisan, patung-patung dan lain sebagainya. Kalau memang kita sebagai orang dewasa yang menyadari bahwa banyak sekali produk sinetron yang tidak berkualitas dan berdampak negatif, kita memalingkan muka dan mengajari anak-anak dan keluarga kita agar tidak usah menonton sinetron-sinetron itu; maka hal yang sama seharusnya juga berlaku bagi semua aspek lain seperti halnya karya-karya seni tari-tarian, filmografi, fotografi, patung, lukisan dan berbagai karya seni lain yang mau dikategorikan sebagai produk yang berbau pornografi dan pornoaksi yang dibatasi dengan Undang-Undang (baik UU Pornografi, UU Perfilman, atau berbagi produk UU lain dan Perda-Perda Syariat, dan sejenisnya).

Berbagai argumen yang mengatakan bahwa berbicara dapat di batasi demi nilai-nilai kebebasan lainnya, biasanya berkenaan dengan kesamaan hak demokratis masyarakat yang hidup didalamnya. Mengingat adanya keberagaman budaya, pola pikir, adat istiadat yang hidup dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, maka kebebasan berbicara, berpendapat, dan berekspresi memang harus dipertemukan dengan adanya pembatasan-pembatasan tertentu dari Pemerintah, namun tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Pemerintah memang harus memikirkan aspek-aspek ‘kebebasan’ (kebebasan berbicara, berpendapat, berkreasi dan ber-ekspresi) dan kaitannya dengan pola perilaku masyarakat dan pembangunan moral bangsa; walau hal inipun nantinya akan berkenaan dengan produk hukum yang berkaitan dengan pembatasan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan bahaya perpecahan dalam masyarakat, atau bersifat ofensif yang tak terhindarkan bagi golongan masyarakat tertentu.
Perlu adanya suatu keseimbangan antara pembatasan kebebasan dengan dampak negatif yang ditimbulkannya secara konsekuen dan tidak berat sebelah, tidak mementingkan golongan suku, agama, ras dan golongan tertentu di masyarakat Indonesia yang majemuk. Produk hukum atau anjuran dari pemerintah itu tidak harus selalu berupa Undang-Undang dan penerapan hukuman, karena masyarakat yang dewasa dapat menilai dan mengawasi dirinya sendiri. Hal ini dikembalikan juga ke masyarakat yang berbeda-beda dan majemuk (penilaian bukan hanya didasarkan atas pendapat satu golongan masyarakat yang berani bertindak represif saja); bahwa suatu bentuk pengawasan dan pembatasan kebebasan itu berlaku adil dan konsekuen bagi semua pihak, semua golongan, semua agama, semua suku dan ras dengan dasar pemikiran positif bahwa komunikasi media massa harus ber-sinergi positif dengan nilai-nilai budaya, kultur bangsa, dan pembangunan moral dan etika masyarakat, persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.


Dalam hal inilah kita harus belajar dari keteladanan masyarakat Amerika Serikat yang sangat dewasa dalam menjaga kebebasannya dan sekaligus kedisiplinannya dalam menjadi bangsa yang kuat / powerful sebagai negara adidaya.

Masyarakat Amerika Serikat memberikan keteladanan dalam hal kedisiplinan pola perilaku masyarakat yang tertib, berpikiran maju, luas dan berawawasan terbuka. Mereka membuka pemikiran terhadap kemajuan teknologi serta kemajuan perdagangan dari hal-hal yang bersifat brainstorming. Setiap individu bebas berbicara, berpendapat, ber-ekspresi dan berkreasi demi kemajuan diri dan masyarakat. Sebagai contoh: Presiden Obama mengawali karir politiknya dari orasi dan pidato-pidato di jalanan dalam menawarkan konsep-konsep civil society yang membawa perubahan positif dan pembaharuan. Masyarakatlah yang kemudian diberi kesempatan untuk menilai, apakah konsep dan rencana yang ditawarkan Obama dapat mereka percayai dan mereka terima atau tidak. Masyarakat dan dukungan sistem politik dan pemerintahan yang mengijinkan kebebasan kritik yang membangun bagi masyarakat tersebut membangun suatu pola pemikiran yang maju dan terbuka terhadap pembaharuan yang positif.
Pemerintah memberikan arahan, anjuran, aturan main, yang diikuti masyarakat dalam membangun dirinya sambil mengevaluasi segala aspek yang berkenaan dengan kebebasan yang ada. Kebebasan yang bertanggung jawab kepada kemajuan masyarakat sipil yang kuat (civil society), bebas, namun mampu membangun konstruksi positif disekitar konsep kebebasan tersebut. Bukan kebebasan untuk ber-orasi yang memecah belah kesatuan dan persatuan, namun kebebasan untuk membangun kualitas bangsa yang didasarkan atas pemerintahan masyarakat sipil yang kuat. Amerika Serikat juga dibentuk dari berbagai suku, agama, ras dan antar golongan yang sangat beragam. Mereka menjunjung kebebasan, namun mereka juga merupakan masyarakat yang kuat persatuan dan nasionalisme-nya.
Masyarakat pekerja profesional di AS dan perusahaan-perusahaan AS dikenal dengan tipikal pekerja yang efisien dalam bekerja namun sangat efektif dan berhasil guna. Mereka memanfaatkan waktu kerja dengan sangat optimal, tidak bermalas-malasan, tidak menggunakan alasan religius untuk mengurangi produktifitasnya, anti korupsi dan menjunjung tinggi kejujuran dan integritas (memang hal-hal ini banyak diwarnai oleh didikan masyarakat religius Protestan yang merupakan bagian terbesar masyarakat di Amerika Serikat).
Masyarakat Amerika Serikat yang berdiri diatas segala perbedaan dan keberagaman yang ada, namun mereka dipersatukan oleh kebanggaan nasional sebagai bangsa Amerika yang kuat, berorientasi pada kemajuan teknologi, IPTEK, komunikasi yang menghargai perbedaan, kerjasama, konsolidasi, sinergi, kejujuran, integritas, kerja keras, dan bersatu diatas keberagaman. Inilah konsep masyarakat Civil Society yang harus ditiru oleh masyarakat Indonesia yang majemuk ini.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar