Minggu, 08 Maret 2009

Politik Indonesia 2009: refleksi ke Star Trek universe

Di Indonesia ini, kalaupun hukum dan berbagai aturan ditegakkan secara murni dan konsekwen, sejumlah keputusan hukum masih tetap akan menyisakan dan menimbulkan rasa ketidak -adil-an bagi kelompok masyarakat tertentu. Di pihak lain, walaupun aparat birokrasi yang masih memiliki komitmen dan integritas telah melakukan tugasnya berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, masih tetap berpotensi melakukan kesalahan yang berakibat pada tindakan hukum bagi ybs. Akar permasalahan dari keputusan politik yang tidak adil bagi semua komponen bangsa dan tidak menjamin tegaknya suatu sistim birokrasi yang mantap terletak pada kegagalan berpikir dan memandang serta menterjemahkan/ menuangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila kedalam perundang-undangan.

Kita ketahui bahwa semua keputusan dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat dibuat berdasarkan undang-undang yang dihasilkan DPR, dan pembuatan setiap undang-undang mengacu kepada Undang-undang Dasar yang dinafasi atau dipandu oleh semangat yang terkandung dalam kelima sila Pancasila. Rupanya, kekacauan cara berpikir ini sudah berlangsung sejak lama. Singkatnya, bangsa ini sesungguhnya belum pernah merumuskan secara baik dan benar kelima sila yang terkandung dalam Pancasila. Inilah akar permasalahan yang berakibat kepada berbagai hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk ketidakadilan, baik ketidakadilan yang dirasakan kelompok minoritas (contoh : gereja-2 yang dibakar atau dipersulit IMB-nya), ketidakadilan dalam sisitim perekonomian nasional, dlsb. Dari beberapa arsip-arsip lama risalah sidang kabinet pemerintahan presiden Soekarno, ditemukan kekacauan cara berpikir ini dan tidak adanya kesepakatan dalam hal penjabaran (implementasi) nilai-nilai dalam Pancasila. Misal, tentang implementasi sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.Walaupun bung Karno adalah penemu Pancasila, berarti beliau yang menuliskan point kemanusiaan dalam Pancasila, tetapi beliau ini jelas-jelas menolak Hak Asasi Manusia.

HAM dianggapnya sebagai produk kapitalist Barat, produk negara-negara ber-demokrasi liberal, tidak pantas untuk Indonesia yang ber-Pancasila. Kemudian, penjabaran Pancasila dan argumentasi dari Mr. Moh. Yamin dianggap sebagai suatu sulap (akal-akalan) oleh bung Hatta. Bayangkan, Moh. Yamin, seorang ahli hukum yang menguasai konstitusi berbagai negara, argumentasinya dianggap sekedar akal-akalan. Kekacauan cara berpikir (kegagalan berpikir) dan memandang serta mengimplementasikan Pancasila terus berlangsung bahkan semakin menjadi-jadi di era Reformasi sekarang ini. Kelompok minoritas sangat merasakannya dengan diterapkannya berbagai UU dan peraturan yang dibuat untuk mengakomodasi dan memprioritaskan panggilan keagamaan umat Islam. UU Sisdiknas, UU Pornagarafi misalnya, serta berbagai Perda-perda bernuansa syariah serta SKB tentang pendirian rumah ibadat. Banyak sudah tulisan/artikel tentang hal ini, tetapi saya belum membaca suatu pemikiran yang mengaitkan produk perundang-undangan serta Perda-2 tsb dengan kekacauan cara berpikir, memandang serta mengimplementasikan Pancasila. Berbagai produk per-UU-an dan Perda-2 tsb pada dasarnya telah menabrak (atau salah menafsirkan dan menerapkap) sila Persatuan Indonesia dan sila Keadilan Sosial.Kalau sila Persatuan dibaca selain untuk memaksimalkan sesuatu (dalam hal ini bangsa dan negara), tetapi juga untuk mengangkat kemampuan kelompok-kelompok yang menyatukan diri dalam persatuan tsb - inilah sebenarnya makna yang terkandung dalam Persatuan Indonesia - maka tidak akan ada UU dan perda-2 tsb di atas yang selain hanya mementingkan agama tertentu, juga melemahkan kelompok agama lain dalam mengekpresikan panggilan imannya. Jelas ini menabrak sila Keadilan Sosial.Dalam matematik, kita mengenal penjumlahan vektor. Vektor-2 yang punya arah yang sama kalau digabung akan membentuk satu vektor resultan yang besarnya adalah jumlah vektor-2 yang digabungkan.

Makna Persatuan Indonesia melampaui penjumlahan vektor, karena selain diperoleh resultan persatuan yang besar, juga masing-2 kelompok ikut membesar atau dibesarkan dalam persatuan tsb, bukannya dihambat/dimarjinalkan. Kegagalan berpikir mengakibatkan kegagalan membangun suatu sistim dan kebijakan kenegaraan yang berujung kepada berbagai permasalahan yang tak kunjung usai, seperti, pengentasan kemiskinan, pendidikan nasional (konsep takwa dalam sisdiknas), otonomi daerah, penolakan mentah-2 terhadap federalisme, dlsb. Di dalam sistim yang kacau di Indonesia ini, orang yang baik (bersih, komit hidup jujur) bisa terpeleset dan menjadi korban dari sistim yang memang kacau. Itulah yang dialami oleh orang-2 seperti Mulyana W. Kusumah bersama temannya dalam KPU yang adalah seorang dosen dari Papua yang sekarang masih dipenjara. Selanjutnya, perlu kiranya melihat akibat dari kegagalan berpikir dalam mengeliminir sila ke 4 yang merupakan prinsip demokrasi dalam Pancasila, sehingga kita sekarang menganut demokrasi liberal, bukan lagi demokrasi permusyrawatan. Kita tahu bahwa ketika amandemen pertama UUD, suasana kebencian terhadap rezim Soeharto yang dianggap telah memanfaatkan sila ke 4 bagi langgengnya kekuasaannya, menguasai anggoata-2 DPR yang menggusur prinsip sila ke 4 dan menggantikannya dengan demokrasi liberal (voting prinsip). Kita tidak menyadari bahwa dengan mekanisme voting, terbukalah kran untuk mengalirkan berbagai UU dan perda-2 syara\iah tsb di atas. Catatan : setiap umat Muslim apapun partai politiknya kalau diperhadapkan dengan RUU yang menyangkut keislaman, sulit bagi mereka untuk tidak meng-gol-kan hal-hal yang dianggap demi kemaslahatan dan ketakwaan umat. Maka, dengan mekanisme voting, sulit bahkan mungkin mustahil membendung syariah-isasi yang terus diperjuangkan kelompok-2 tertentu di parlemen.Sila ke 4 kalau dibaca dari kaca mata Kristen dengan memperhatikan sila I (Ketuhanan Yang Maha Esa), maka kata "dipimpin oleh hikmat....... " bisa atau seharusnya bermakna 'dipimpin oleh Roh Hikmat (Roh Kudus)'.

Sayang sekali politisi-2 eks Parkindo tidak kedengaran perjuangannya di DPR ketika prinsip demokrasi permusyarwatan digusur. Padahal dulu, melalui mekaniswa demokrasi permusyarawatan, seorang wakil kelompok minoritas, Mr. Maramis, berhasil menggagalkan pemberlakuan Piagam Jakarta yang diusung kelompok Masyumi di DPR.Bung Hatta berkata : "demokrasi bukanlah semata-mata pemilihan, tetapi yang lebih penting adalah keterwakilan semua komponen bangsa". Keterwakilan kelompok-2 minoritas di Parlemen bisa tertutup dalam sistim sekarang. Sehubungan dengan maraknya transmigrasi dan migrasi (perpindahan spontan masyarakat), jangan kaget kalau suatu waktu nanti, wakil-2 rakyat Papua di DPR dan DPD atau DPRD diisi oleh orang-2 yang tidak berambut keriting, non kulit hitam, non kristen dlsb. Di tengah kekecewaan yang semakin menggumpal terhadap orientasi dan kinerja partai-partai yang ada, terutama maraknya korupsi sejumlah politisi di DPR, harapan yang besar ditujukan kepada DPD. Semoga ke depan, DPD semakin kuat posisinya dalam pengambilan keputusan di parlemen dan semoga terpilih wakil-2 independen yang sungguh-2 berkwalitas dan siap berjuang habis-2an.

Kalimat 'demokrasi sedang ditikam oleh pisau demokratis' terinspirasi oleh pernyataan Robert Spencer dalam bukunya "Religion of Peace" Why Christianity is Yes and Islam is Not. Dalam terjemahan bebas pernyataannya berbunyi demikian: "menindas demokrasi melalui cara-cara (proses dan mekanisme) yang demokratis". Pernyaataan Robert Spencer tsb merupakan kesimpulan dia terhadap kehidupan demokrasi di negara-2 yang menyatakan diri sebagai negara demokratis dan yang berpenduduk mayoritas MuslimDi Indonesia fakta dari pernyataan Spencer tsb jelas terlihat pada berbagai undang-undang yang diskriminatif termasuk Perda-perda yang bernuansa syariah dan SKB menteri Agama + mendagri tentang pembangunan rumah-2 ibadat (posting kemarin sudah mengungkap ini). Sampai sekarang, sudah 22 provinsi di Indonesia telah menerapkan Perda Syariah, sementara berbagai UU diskriminatif dan SKB berlaku di seluruh wilayah NKRI. Tingkat hard / shoft-nya perda-2 syariah tsb berbeda di setiap kabupaten/kota dalam wilayah 22 provinsi tsb. Kecuali SKB, UU dan perda-2 tsb telah melalui mekanisme yang demokratis di negara kita yang sedang menganut/menjalankan sistim demokrasi voting di DPR dan DPRD. Inilah salah satu sebab Indonesia mendapat pujian dari AS sebagai negara demokratis. Ingat, Indonesia dipuji oleh Hillary Clinton bukan sebagai negara Pancasila, tetapi sebagai negara Islam terbesar di dunia (yang berkiblat kepada Arab Saudia sebagai kalif).

Tetapi, kalau ditelusuri motivasi dan tujuan (keduanya tersembunyi) serta proses tersembunyi selain yang nampak di gedung DPR dan DPRD-2, di balik diberlakukannya UU, perda-2 syariah dan SKB tsb serta peraturan-2 tersembunyi tentang rekruitment pejabat birokrat dan BUMN penuh dengan nuansa yang tidak sepatutnya diberlakukan di negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi moderen (liberal). Ujung-ujungnya memang akan bermuara kepada terbetuknya kelas-kelas dalam masyarakat bangsa berdasarkan agama yang dianut dimana non Muslim termarjinalkan. Keadaan ini tentu berbeda sekali dengan kondisi di negara-2 Barat yang telah lama menerapkan demokrasi moderen dimana kaum minorotas memperoleh perlindungan, hak-haknya dibela dlsb. Contoh, di Belanda, pemerintah menyediakan bantuan dan dukungan yang seluas-luasnya berupa Islamic Centre di ibukota Deanhaag untuk mengakomodasi kepentingan umat Muslim yang hanya segelintir ketika itu.

Seorang netter di milis umum dalam postingnya menggambarkan, Indonesia tidak pantas lagi disebut negara Pancasila tetapi negara Syariah. Pasalnya, dalam kenyataan sehari-hari dalam rekruitmen pejabat pegawai negeri sipil (khususnya di daerah-2 ber-Perda Syariah), tidak ada lagi syarat Pancasilais, mengerti falsafah Pancasila dan butir-butir penerapannya, tetapi yang sering terdengar adalah syarat-syarat seperti kemampuan berbahasa Arab (membaca Quran), mampu ngaji, memimpin sholat sebagai imam, dlsb.Pertanyaan yang perlu dikemukakan, mengapakah kelompok-kelompok yang ingin mempolitisasi agama itu begitu antusias memperjuangakan / memberlakukan hal-hal tsb di atas?. Tidakkah mereka menyadari asal muasal berdirinya negara ini bisa terjadi karena kontribusi dari berbagai suku bangsa dan ragam agama yang kemudian membentuk /menyepakati suatu jati diri bangsa dan negara Indonesia dengan cita-2 bersama? ("Jati Diri Bangsa Indonesia" oleh Djon Pakan)

Pertama, syariahisasi tersebut di atas dalah bagian yang tidak terpisahkan untuk menjadi / menuju ke status islami (dalam kaca mata Kristen : menjadi kudus dan memperoleh perkenanan Tuhan). Jadi, merupakan panggilan iman. Ibn Khaldun dalam bukunya "Muqadimah Ibn Qaldun" (h 234) mengatakan : ...tujuan Tuhan membuat undang-2 adalah keselamatan manusia di akhirat kelak. Oleh karena itu adalah menjadi keharusan manusia menyesuaikan diri (taat) terhadap hukum-2 agama dalam segala soal (hal), baik yang berhubungan dgn dunia ini , maupun dengan hidup kemudian"Memperbadingkan Islam dan Kristen dalam hal di atas, Kristen yang terutama dan yang pertama bukanlah DOING tetapi BEING, Islam sebaliknya. Kristen : DOING adalah buah dari BEING, Islam : untuk memperoleh BEING, harus melakukan berbagai hal/syariah terlebih dahulu (DOING first).Catatan : Ibn (baca: ibnu) Khaldun adalah inteletual Muslim kesohor yang kwalitasnya diakui oleh dunia Barat. Arnold Toynbee menyatakan: "Dalam Muqadimah-nya, ia telah membuat dasar-2 dan merumuskan suatu filsafat sejara yang tak dapat diragukan lagi sebagai yang terbesar dalam macamn ya yang pernah diciptakan otak manusia, pada waktu dan tempat yang manapun". Yang kedua, Islam tidak terpisahkan dari kekuasaan (politik).

Sejak zaman Nabi, da'wah (ekapansi agama) senantiasa dibarengi dengan perebutan kekuasaan politik. Setelah wafatnya Nabi, perannya diteruskan oleh ke-khalifa-an (pemimpin agama /spiritual sekaligus pemimpin politik). Kedua peran khalif tsb besar sekali pengaruhnya untuk menciptakan ketaatan umat terhadap syariah. Bagi khalif , hal tsb adalah suatu amanah. Di Indonesia, walaupun sampai sekarang ini secara legal formal tidak ada khalif, tetapi fungsi-2 ke-khalifa-an diemban oleh sejumlah tokoh dari berbagai mazhab. Kondisi ini sulit diterima oleh kelompok-2 Islam literal (ekstrim fundamentalis), mengingat kemayoritasan dan fakjta sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit, Sultan-sultan islamlah (= Khalif) yang memerintah kerajaan-2 di Jawa. Cita-cita tercapainya negara atau society yang dipimpin khalifa adalah suatu harapan yang tidak pernah padam. Selain syarisasi dengan tujuan dan cara-cara tsb di atas, hal lain yang menciderai atau menindas demokrasi di Indonesia yang telah terjadi secara (dianggap) demokratis adalah politk dagang sapi (contoh : koalisi semu yang dibangun pemerintah sekarang). Selain itu, money politic sampai kepada merajalelanya korupsi di parlemen adalah tikaman terhadap proses atau sistim demokrasi.Reaksi masyarakat yang kecewa berat terhadap realitas-realitas yang mereka lihat tersebut di atas tercermin dari semakin membesarnya jumlah golput (golongan putih - orang-orang yang enggan menggunakan Hak Pilih nya) dalam pilkada-pilkada yang telah berlangsung. Situasi ini sebenarnya membahayakan kelangsungan demokrasi di Indonesia."Kelangengan suatu sistim dalam suatu negara sangat memerlukan solidaritas sosial" (Ibn Khaldun).

Golongan putih adalah sinyal melemahnya solidaritas sosial terhadap sistim demokrasi. Tidak perlu saya menulis lebih jauh tentang politik dagang sapi, money politic dan korupsi di parlemen. Barbagai media telah mengulasnya dengan gamblang. Seharusnya semua pihak-pihak, terutama mereka yang gemar menggunakan atribut agama sebagai kendaraan politik: lebih arif melihat gejolak di masyarakat ini. Alih-alih ingin menggelar pesta demokrasi, yang dikuatirkan justru akan makin terciptanya pengkotak-kotakkan golongan masyarakat dan penindasan hak-hak sipil yang dapat berujung kepada ketidak puasan dan separatsme. Negara kita ini sedang membutuhkan Pemimpin yang mampu menjembatani semua golongan SARA di masyarakat secara adil karena memang sesungguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini berdiri diatas keringat, darah, dan air mata anak bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan golongan.

Ketika kita akan memasuki periode pemilihan calon legislatif, janganlah kita menyia-nyiakan moment yang sangat berharga ini. Kita harus mendoakan secara sungguh-sungguh supaya Tuhan Yang Maha Kuasa membantu kita memberikan hikmat dan kebijaksanaan kepada kita untuk memilih wakil rakyat yang sungguh-2 memikirkan dan bekerja berkarya untuk rakyat, bukan untuk golongan atau partainya, atau utk kekayaannya pribadi. Saya percaya dan ber-Iman, ada calon wakil rakyat seperti itu diantara sekian ratus caleg yg ada. Kita perlu berdoa sungguh-2 supaya kita dapat memilih dengan bijak, dan Tuhan membimbing serta memberi kekuatan kepada caleg itu untuk tetap setia melayani Tuhan dan melayani rakyat yang memilih mereka. Pemimpin Pelayan, memang sangat langka dan mungkin sukar sekali dicari, namun saya percaya, pasti masih ada caleg yg memiliki nurani dan integritas seperti itu. Pelajari latar belakang, visi, misi dan integritas calon wakil rakyat yang mau kita pilih. Jangan hanya berdasarkan kesamaan suku, atau golongan, namun harus berdasarkan integritas orang tersebut dalam membawa amanat Pancasila dan memperjuangkan nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Inilah salah satu sebab mengapa saya sangat merindukan utopia maket masa depan dalam dunia Star Trek universe. Dalam kehidupan maket masa depan Star Trek, semua sumber daya yang ada telah di arahkan dan diberdayakan setinggi-tingginya demi kemakmuran bersama yang dapat dinikmati oleh setiap golongan, setiap ras, setiap aliran kepercayaan dan semua unsur elemen masyarakat yang ada. Tiada lagi pertentangan ideologi, penindasan hak kaum minoritas, peperangan agama, perebutan lahan hidup dan sumber daya demi keserakahan golongan tertentu yang haus kekuasaaan. Semua sumber daya/ resources, technology, kekuatan /power yang ada di berdayakan setinggi-tingginya demi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemakmuran masyarakatnya. Ras, etnis, agama, golongan, budaya, suku yang berbeda, bersatu padu dalam keharmonisan untuk mencapai tujuan bersama dan kemakmuran bersama dalam cinta kasih dan perdamaian. Semoga ideologi dan nilai-nilai luhur Star Trek ini dijiwai pula oleh mayoritas bangsa Indonesia yang sangat beragam ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa menolong kita.

3 komentar:

  1. keren artikelnya.. sekarang mau dibawa kemana indonesianya yaa?

    BalasHapus
  2. IMHO, dunia Star Trek adalah adaptasi dan penggambaran versi ideal dari paham komunisme/sosialisme yg selama ini dihujat habis2an oleh masyarakat Indonesia dan dunia barat.
    :)

    BalasHapus
  3. Indonesia sebagai suatu bangsa, perlu melihat melampaui batas-batasan Suku, Agama dan Ras, dan melihat lebih jauh makna sesungguhnya keberadaannya di planet Bumi ini.

    Menurut saya pribadi, hanya karena anugerah Tuhan NKRI bisa tetap eksis sampai sekarang, dan hal ini kita akui di pembukaan UUD 1945. Secara statistik dan simulasi historis saya, NKRI mestinya runtuh dari tahun-tahun yang lalu, tapi karena serangkaian kejadian dan individu-individu tertentu, NKRI masih bisa ber'satu' di atas peta.

    Mungkin para penduduk lain tak sependapat dengan saya, tapi Indonesia masih diijinkan bersatu saat ini.

    BalasHapus