Minggu, 08 Februari 2009

“Materi TV Lokal kita dan akibatnya pada Pembentukan Mental”

Di rumah saya memiliki dua TV, satu terletak di ruang keluarga / ruang makan, satu lagi di kamar Ibu saya. Biasanya kalau pulang kantor antara sekitar jam.19.00 – 21.00, anak saya Daniel umur 8 tahun sudah selesai atau sedang belajar dan saya meminta agar TV di ruang utama dimatikan sebab Ibu saya dan PRT di rumah kami senang sekali menonton Sinetron. Kalau saya makan malam dan ingin menonton TV, saya menunggu anak saya Daniel selesai belajar atau mengerjakan tugas sekolahnya. Jadi sambil makan malam, biasanya saya akan menonton film seri Star Trek dari DVD, TV Elshinta, O Channel (bila ada acara Mario Teguh), atau film Science Fiction yang lain yang bisa saya tonton bersama-sama anak saya itu.

Minggu lalu, sepulang kantor kebetulan Ibu saya bilang TV di kamarnya agak rusak, jadi beliau ingin menonton di ruang makan / ruang keluarga. Saya pikir waktu itu tidak terlalu masalah, karena anak saya kebetulan sudah menyelesaikan semua tugas dan belajarnya dari jam.18.00. Saya kebetulan agak lelah dan belum ingin memutar film Star Trek (biasanya saya perlu agak extra energi menerjemahkan teks bahasa Inggris dari DVD ke anak saya sambil menonton). Saya berpikir sekali-sekali mungkin tidak apa-apa, saya ingin tahu seperti apa sih perkembangan per-Sinetron-an kita saat ini yang sudah sangat lama sekali tidak pernah saya tonton.

Saya melihat chanel diarahkan ke salah satu stasiun TV Swasta lokal terbesar di Indonesia. Namun betapa terkejutnya saya, hanya dalam waktu 15 menit, saya sudah melihat tiga adegan bentakan dengan kata-kata kasar, tamparan, bentakan dan jambakan, dan pemain yang terjatuh dan dianiaya oleh dua – tiga orang lainnya dalam sebuah rumah yang sangat mewah. Satu adegan percintaan, yang juga tentu masih belum pantas dilihat oleh anak saya juga. Waktu itu saya jadi kesal dan marah, dan saya memohon pada Ibu saya sambil meminta maaf, saya mau ganti saluran TV nya dengan TV Elshinta yang kebetulan waktu itu sedang ada acara mengenai realita perjuangan hidup seorang cacat yang menghidupi keluarganya dengan berjualan Koran. Suatu kondisi sangat drastis, dari suatu sajian yang menyodorkan mimpi kemewahan diluar akal yang sarat konsumerisme, diganti dengan suasana kesahajaan dalam tingkat terendah yang dijalani oleh sang tokoh realita kehidupan dalam rasa syukur dan perjuangan yang sangat patut di teladani.

Karakter tokoh sinetron tetap sangat simple hitam putih. Orang jahat /keji sekali melawan orang yang sangat sederhana dan baik sekali. Adegan selalu diwarnai dengan adegan saling memaki, saling tampar, dan saling jambak. Akting yang diperagakan adalah mata melotot dan mulut yang sangat manyun di monyong-monyongkan tidak karuan.
Jualan utama infotainment tidak beranjak dari gossip percintaan, perselingkuhan, perceraian dan kekerasan yang melibatkan selebriti. Fakta jadi tidak penting karena infotaintment selalu memborbardir dengan pertanyaan-pertanyaan penuh prasangka, seperti: “Ada apa dibalik kematian mantan artis film horror itu? Apakah benar ada aroma pembunuhan disana? “… lalu “Siapakah orang ketiga di balik kisruh rumah tangga Pasha Ungu?” dst nya. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab infotainment, penonton disuruh berprasangka sendiri.

Acara komedi sekarang ini pun mengalami kemunduran. Jika dulu pernah ada acara lawak Bagito Show yang punya gaya lawak cerdas, sekarang hampir semua acara komedi menyajikan humor vulgar. Para pemain komedi lebih banyak memancing tawa dengan komedi slapstick murahan dan mencela kekurangan fisik orang lain sebagai bahan tawa. Saya jadi ingat dulu pernah ada seorang teman di bangku SMA yang punya kebiasaan buruk suka mencela kekurangan fisik temannya sebagai bahan tertawaan. Akibat psikis bagi orang yang tak kuat dicela, dia akan menjadi semakin rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri. Saya tidak ingat jelas kapan kebiasaan buruk itu berhenti, mungkin kebiasaan itu agak berkurang setelah teman saya itu sempat di pukuli oleh seseorang yang tidak terima dengan cara bercandanya.

Ironisnya, menurut pengamatan Didin Saharudin dari Spirit TV Watch di Bandung, kebanyakan penonton di Indonesia adalah dominant reader yang mengikuti begitu saja arus media. Mereka mengkonsumsi begitu saja kekerasan, klenik, hiburan, isu politik, perselingkuhan artis; dan paling miris, adalah: adanya suatu peristiwa pembunuhan mutilasi di Jakarta terjadi akibat si pelaku meniru pola pembunuhan mutilasi lain yang di informasikan oleh Televisi. Si Pelaku Pembunuhan Mutilasi “peniru” ini mengaku terinspirasi melakukan itu ketika dia disuguhkan informasi-informasi betapa sulitnya Polisi mengungkap pembunuhan mutilasi yang dilakukan Ryan (pembunuh berantai) dalam membunuh korban-korbannya.
Televisi secara vulgar memberitakan bagaimana Ryan membunuh korban-korbannya, jadilah Televisi kita menjadi “universitas kejahatan”. Sekarang, bayangkan, bagaimana kalau anak-anak kita yang masih belajar dengan menyerap sebanyak-banyaknya informasi, di suguhkan berbagai “sampah kotor” dari tayangan-tayangan televise di atas!?..akan jadi apa anak-anak dan generasi penerus bangsa ini? Apakah kita biarkan mereka dan kita semua di doktrinasi oleh materi televisi yang merusak moral dan melecehkan intelektual!?.. akankah kita biarkan mental bangsa ini dibentuk oleh tayangan-tayangan kejahatan, perpecahan, penipuan, kekerasan, tahayul, klenik serta kata-kata kasar?

Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) sejak 2006 harus kita dukung. Mereka ini mengampanyekan hari tanpa televise menjelang atau setelah Hari Anak tanggal 23 Juli. Ketua YPMA Bobi Guntarto mengatakan kampanye itu untuk mengurangi ketergantungan anak kepada televisi.

Saya pernah melihat sebuah spanduk dipasang di sebuah organisasi kemasyarakatan N.U. di Yogyakarta, 21 Oktober 2008. Spanduk itu berisi tulisan: MALU MENONTON SINETRON. Tapi sayangnya gerakan ini kurang mendapat respons dari masyarakat yang berusaha dilindungi dari dampak negative sinetron dan berbagai tayangan tidak mendidik lainnya di Televisi-Televisi lokal kita. Jika seandainya saja gerakan ini semakin banyak mendapat dukungan masyarakat dan dipikirkan baik-baik oleh pengelola TV swasta kita yang tidak hanya berorientasi pada materialisme saja, niscaya tidak perlu golongan masyarakat cerdas seperti kita ini “ngos-ngosan” melindungi anak-anak dan generasi muda kita dari tayangan yang merusak mental bangsa.
Tapi apa mau di kata? Hampir semua slot jam tayang prime time sudah dibayar penuh oleh pemasang iklan dengan tayangan-tayangan sinetron bertabur mimpi kemewahan dan berbagai aspek negative yang saya ceritakan diatas (malu dan jijik saya mengetiknya kembali).

Teman-teman pembaca pasti menduga, saya pasti mau menggiring ke arah kesimpulan bahwa Star Trek adalah tayangan yang paling baik. Saya tidak mau mendikte pembaca atau mendoktrinasi Anda yang cerdas dan kritis ini. Anda bisa melihat dan memutuskan sendiri dari semua ulasan saya diatas, apakah saya mau mendoktrin Anda atau mau mengungkap fakta untuk di analisa kritis secara bersama.

Yang jelas, saat ini anak saya Daniel umur 8 tahun, justru seringkali bertanya kalau menonton TV kenapa saya tidak segera memutar film Star Trek kesayangannya. Dia di umurnya saat ini sudah mulai bertanya tentang Fisika Quantum, Kecepatan Cahaya, susunan tata surya, galaxy dan lain sebagainya yang mungkin baru akan di dapatkan di sekolah beberapa tahun lagi. Tapi dia begitu antusiasnya bertanya mengenai hal-hal science ini dan walaupun harus mengingat pelajaran-pelajaran Fisika, Ilmu Alam dan Matematika, saya senang menerangkannya kepada anak saya itu mengenai semua hal science dibalik film Star Trek.

Saya jadi berpikir, apakah mungkin Amerika Serikat jadi Negara Adidaya yang sangat maju dalam eksplorasi Luar Angkasa dikarenakan anak-anak mereka sejak kecil dibiasakan berpikir kritis dengan pertanyaan-pertanyaan science seperti ini? Semoga saja anak-anak bangsa kita dimasa akan datang dapat “ketularan” anak-anak di Negara maju menjadi anak-anak yang kritis dalam hal Ilmu Pengetahuan dan menjadi problem solver handal antara lain karena jenis tayangan TV yang mencerdaskan dan pola pendidikan keluarga yang benar..








Tidak ada komentar:

Posting Komentar